Translate
Monday, August 15, 2016
Makalah Ulumul Quran (Hadits maudhu'i)
1. Definisi Metode Maudhu’i
Maudhu’i
secara bahasa berasal dari bahasa Arab yaitu وضع- يضع- وضعا- موضعا- موضوعا
Yang berarti “menaruh” atau “meletakkan”.[1] Adapun
pengertian tafsir maudhu’i yang dikemukakan oleh Abd al-Hayy al- Farmawi ,
yaitu :
جمع الآيات القرآنية، ذات الهدف الواحد ـ التي اشتركت في موضوع
ما ـ وترتيبها حسب النزول ـ ما أمكن ذلك ـ
مع الوقوف على أسباب نزولها، ثم تناولها بالشرح والبيان،
والتعليق والإستنباط
“Mengumpulkan ayat- ayat Al-Quran yang mempunyai
maksud yang sama, dalam arti sama-sama membahas atau topik masalah dan
menyusunnya berdasarkan kronologis dan sebab turunnya ayat-ayat tersebut,
selanjutnya mufassir memberikan keterangan dan penjelasan serta mengambil
kesimpulan”.[2]
Sedangkan Dr. Mushthafa Muslim tafsir
Maudhu’i adalah :
هو علم يبحث في قضايا القرآن الكريم، المتحدة معنى أو غاية،
عن طريق جمع آياتها المتفرقة، والنظر فيها، على هيئة مخصوصة، بشروط مخصوصة لبيان
معناها، واستخراج عناصرها، وربطها برباط جامع.
Tafsir Maudhu’i adalah ilmu yang membahas
tentang masalah- masalah Al-Quran al- Karim yang (memiliki) kesatuan makna atau
tujuan dengan cara menghimpun ayat- ayatnya yang bisa juga disebut dengan
metode tauhidi kesatuan untuk kemudian melakukan penalaran terhadap isi
kandungannya menurut cara- cara tertentu dan berdasarkan syarat- syarat
tertentu untuk menjelaskan makna –maknanya dan mengeluarkan unsur-unsurnya
serta menghubungkannya antara yang satu dengan yang lain dengan korelasi yang
bersifat komprehensif “.[3]
Menurut Badri khaeruman pengertian tafsir
maudhu’i sebagai satu metode penafsiran Al-Quran, yang bertujuan mencari
jawaban ayat- ayat Al- Quran tentang permasalahan tertentu. Ayat- ayat yang
menunjuk pada permasalahan yang sma yang tersebar di dalam surat- surat Al-
Quran, dihimpun dan dipahami lewat ilmu- ilmu bantu sesuai dengan konteksnya
menuju jawaban ayat- ayat tersebut (dilalah), yang berkenaan dengan masalah
yang telah ditetapkan. [4]
Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan
bahwa metode Maudhu’i adalah cara menjelaskan ayat-ayat yang terhimpun dalam
satu tema dengan memperhatikan urutan tertib turunnya ayat tersebut, sebab
turunnya, korelasi antara satu ayat dengan ayat yang lain dan hal- hal lain
yang dapat membantu memahami ayat lalu menganalisanya secara cermat dan
menyeluruh.
Tafsir Maudhu’i ini disebut juga dengan
tafsir tematik, maksudnya adalah metode ini membahas ayat-ayat al-Quran sesuai
dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan dengan
topik tersebut dihimpun, kemudia dikaji secara mendalam dan tuntas dari segala
aspeknya. Tafsir maudhu’i merupakan sebuah metode penafsiran al- Qur’an yang
bertujuan hendak mencari jawaban ayat-ayat al-Quran tentang satu permasalahan
tertentu.[5]
2. Sejarah Tafsir Maudhu’i
Dasar-dasar tafsir maudhu’i telah
dimulai oleh Nabi SAW sendiri ketika menafsirkan ayat dengan ayat, yang
kemudian dikenal dengan nama tafsir bi al-ma’sur. Seperti
yang dikemukakan oleh al Farmawi bahwa semua penafsiran ayat dengan ayat bisa
dipandang sebagai tafsir maudhu’i dalam bentuk awal. Menurut Quraish
Shihab, tafsir tematik berdasarkan surah digagas pertama kali oleh seorang guru
besar jurusan Tafsir, fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar, Syaikh Mahmud
Syaltut, pada Januari 1960. Karya ini termuat dalam kitabnya, Tafsir
al-Qur’an al-Karim. Sedangkan tafsir maudhu‘i berdasarkan subjek digagas pertama
kali oleh Prof. Dr. Ahmad Sayyid al-Kumiy, seorang guru besar di institusi yang
sama dengan Syaikh Mahmud Syaltut, jurusan Tafsir, fakultas Ushuluddin
Universitas al-Azhar, dan menjadi ketua jurusan Tafsir sampai tahun 1981. Model
tafsir ini digagas pada tahun seribu sembilan ratus enam puluhan.[6]
Pada
dasarnya menghimpun dan menyusun ayat-ayat menurut kronologi dilakukan untuk
mengetahui pokok-pokok masalahnya. Dengan demikian komentar negatif
bahwa di dalam al-Quran terdapat pengulangan bisa ditolak atau disanggah.
Tafsir Maudhu’i mempunyai dua bentuk kajian yaitu tafsir maudhu’i per-surah dan
tafsir maudhu’i per-tema.
a. Tafsir Maudhu’i Per-Surah
Tafsir maudhu’i yang membahas satu surah secara
utuh dan menyeluruh dan menjelaskan maksudnya yang bersifat umum dan khusus
serta menjelaskan korelasi antara berbagai masalah yang dikandungnya, sehingga
surah tersebut tampak dalam bentuknya yang betul-betul utuh dan cermat. [7]
Penafsiran
tentang satu Surah, contoh surah al –Fatihah
ÉOó¡Î0 «!$# Ç`»uH÷q§9$# ÉOŠÏm§9$# ÇÊÈ
“Dengan
menyebut Allah yang Pemurah lagi Maha Penyayang”. Ayat ini sebagai satu
ekspresi pujian rasa syukur terhadap Allah.
߉ôJysø9$# ¬! Å_Uu‘ šúüÏJn=»yèø9$# ÇËÈ
“ Segala Puji bagi Allah, Tuhan semesta alam”. Ayat
ini mengartikulasi tiga konsep :
1. Pujian dan pemujaan dari keagungan, kemuliaan dan
kesempurnaan Tuhan yang Maha Kuasa
2. Pujian terhadap Tuhan, Pencipta dan Pemberi, karena
kelembutan, Pemurah, dan kebaikan-Nya ditunjukan-Nya melalui ciptaan-Nya
3. Bersyukur dan berterimakasih kepada Pencipta dan Pemberi,
karena semua kemurahan dan kelembutan Ia limpahkan kepada ciptaan-Nya.
“Tuhan semesta alam” adalah suatu penegasan bahwa
Tuhan adalah Tuhan dari segalanya, dari yang paling kuasa hingga makhluk yang
rendah hati dimanapun mereka berada. Dan dialah Tuhan Manusia, hewan, tumbuhan,
planet, yang terlihat maupun yang tak terlihat. Segala sesuat yang telah eksis
atau akan selau eksis di dunia ini adalah subordinate bagi Tuhan, tunduk
kepada-Nya, terikat pada kekuasaanya, dan secara total bergantungh pada
kelembutan-Nya, Rahmat dan Penyayang. Allah SWT berfirman dalam surat yang lain:
¬Tsù ߉÷Kptø:$# Éb>u‘ ÏNºuq»yJ¡¡9$# Éb>u‘ur ÇÚö‘F{$# Å_Uu‘ tûüÏHs>»yèø9$# ÇÌÏÈ ã&s!ur âä!$tƒÎŽö9Å3ø9$# ’Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚö‘F{$#ur ( uqèdur Ⓝ͓yèø9$# ÞOŠÅ3ptø:$# ÇÌÐÈ
“Maka bagi Allahlah segala puji, Tuhan langit dan
Tuhan bumi, Tuhan semesta alam. Dan bagi-Nyalah keagungan di langit dan di
bumu. Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana “ ( al-Jatsiyah 36-37)
الرحمن الرحيم (3)
“ Yang Maha pemurah lagi Maha Penyayang” .
manusia dan ciptaan lainnyta, hidup dengan kemurahan Allah.
مالك يوم الدين ( 4)
“ Yang menguasai hari pembalasan”. Ini mengacu
kepada hari pembalasan, di mana dikatakan sebagai awal kehidupan baru yang
berlawanan dengan kehidupan sementara sekarang ini. Konsep dari “hari
pembalasan ” adalah untuk semua.
إياك نعبد وإياك نستعين (5)
“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan
hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan”
Setiap orang dan segala sesuatu adalah dalam keadaan
memerlukan Allah dan kemurahan-Nya. Nabi
Muhammad bersabda dalah sebuah hadits yang artinya:
“jika kamu memohon, maka mohonkanlah kepada Allah. Dan
Jika kamu meminta pertolongan maka mintalah pertolongan kepada Allah ‘. (HR.
Abu Dawud dan al-Nasai)
اهدنا
الصراط المستقيم (6) .صراط الذين أنعمت عليهم غير المغضوب عليهم ولا الضالين (7)
“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (Yaitu) jalan
orang- orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan)
yang dimurkai dan (bukan pula) jalan mereka yang sesat”.
Jalan yang lurus adalah jalan yang terdekat antara dua
titik. Siapapun berada di jalan yang lurus dan benar menuju Allah, karena itu
adalah satu- satunya jalan yang pasti dan langsung yang membawa kepada Allah.
Agma Allah adalah satu agama, diajarkan oleh semua Nabi dan utusan pada semua
peringkat manusia. Ia jumpai keesaan Allah yang pantas mendapatkan total
kesetiaan dan pujian penuh.
Ringkasnya, kita memiliki ekspresi yang benar dan
penuh definisi tentang hubungan alamiah dan wajar antara manusia dan Tuhannya.
Esensi dari hubungan ini adalah penghargaan manusia terhadap Tuhannya, pujian
kepada-Nya yang sesungguhnya dan upaya yang tulus serta berkesinambungan untuk
meminta ampun, kasih sayang kepada-Nya. Semuanya ini agar Tuhan bisa membantu manusia
untuk hidup seperti yang diharapkannya. [8]
b. Tafsir Maudhu’i
Per-Tema
Menghimpun
sejumlah ayat dari berbagai surah yang sama-sama membicarakan satu masalah
tertentu kemudian ayat-ayat disusun sedemikian rupa dan diletakkan di bawah
suatu tema bahasan yang dan selanjutnya ditafsirkan secara maudhu’i. [9]
Fitrah manusia : tentang keyakinan keesaan Allah
Al-Quran mengisyaratkan bahwa
kehadiran Tuhan ada dalam diri setiap insan, dan bahwa hal tersebut merupakan
fitrah (bawaan) manusia sjak asal kejadiannya.
Demikian dipahami dari firman-Nya dalam surah Ar-Rum
30.
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا
ۚفِطْرَتَ الَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚلَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ
الَّهِ ۚذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا
يَعْلَمُونَ
“Maka
hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan
pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui”,
Dalam ayat lain
dikemukakan bahwa :
وَإِذْ
أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ
عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا
يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
“Dan
(ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi
mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
"Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau
Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di
hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah
orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).[10]
Dalam surah
lain Allah berfirman : (QSYunus :90-91)
وجَاوَزۡنَا بِبَنِىۡۤ اِسۡرَآءِيۡلَ
الۡبَحۡرَ فَاَتۡبـَعَهُمۡ فِرۡعَوۡنُ وَجُنُوۡدُهٗ بَغۡيًا وَّعَدۡوًا ؕ حَتّٰۤى
اِذَاۤ اَدۡرَكَهُ الۡغَرَقُ قَالَ اٰمَنۡتُ اَنَّهٗ لَاۤ اِلٰهَ اِلَّا الَّذِىۡۤ
اٰمَنَتۡ بِهٖ بَنُوۡۤا اِسۡرَآءِيۡلَ وَ اَنَا مِنَ الۡمُسۡلِمِيۡنَ O
“ Dan kami memungkinkan Bani Israil melintasi
laut, lalu mereka diikuti oleh Firaun dan bala tentaranya, karena hendak
menganiaya dana menindas (mereka) : hingga bila Firaun itu telah hamper
tenggelam berkatalah dia: “saya percaya bahwa tidak ada tuhan melainkan Tuhan
ynag dipercaya oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah
diri (kepada Allah). Apakah sekarang (baru kamu percaya), padahal sesungguhnya
kamu telah durhaka sejak dahulu, dan kamu
termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan”
Ayat
ini sekaligus membuktikan bahwa kehadiran Tuhan merupakan fitrah manusia yang
merupakan kebutuhan hidupnya. Kalaupun ada yang mengingkari wujud tersebut,
maka pengingkaran tersebut bersifat sementara. Dalam arti bahwa pada akhirnya –
sebelum jiwanya berpisah dengan jasadnya- ia akan mengakui-Nya. Memang, kebutuhan manusia bertingkat – tingkat, ada
yang harus dipenuhi segera seperti kebutuhan udara, ada yang dapat ditangguhkan
lebih lama daripada kebutuhan minum. Kebutuhan untuk makan dapat ditangguhkan
lebih lama daripada kebutuhan minuman. Kebutuhan yang paling lama dapat
ditangguhkan adalah kebutuhan tentang keyakinan akan adanya Allah SWT. [11]
4. Langkah- langkah metode Maudhu’i
Adapun langkah- langkah yang harus diikuti secara
berurutan, sebagai berikut :
1. Menetapkan masalah atau judul pembahasan;
2. Menghimpun ayat- ayat yang menyangkut masalah
tersebut;
3. Menyusun ayat-ayat itu sesuai dengan masa turunnya, dengan memisahkan
periode Mekkah dan Madinah .
4. Memahami korelasi ayat- ayat tersebut dalam
suratnya masing- masing ;
5. Melengkapi
pembahasan dengan hadits- hadits yang menyangkut pembahasan yang dibahas;
6. Menyusun pembahasan dalam satu kerangka yang sempurna;
7. Studi tentang ayat- yat tersebut secara keseluruhan , dengan
memperhatikan pengertian- pengertian yang sama atau berlawanan, mengompromikan
ayat ‘am dan khas, mutlak dan muqayyad, ditopang
oleh ilmu- ilmu bantu lainnya, sehingga lahirlah suatu konsepsi sesuai dengan
dilalah ayat tanpa ada semacam pemaksaan dalam pemberian arti;
8. Menyusun kesimpulan yang mengambarkan jawaban dari Al-Quran terhadap
masalah yang dibahas.[12]
5. Kelebihan- kelebihan metode maudhu’i
Di antara kelebihan metode ini ialah sebagai berikut:
1. Menjawab tantangan zaman
Permasalahan dalam kehidupan selalu tumbuh dan berkembang
sesuai dengan perkembangan kehidupan itu sendiri. Semakin modern kehidupan,
permasalahan yang timbul semakin kompleks dan rumit, serta mempunyai dampak
yang luas. Untuk menghadapi permasalahan yang demikian, dilihat dari sudut
tafsir Al-Qur‟an, tidak dapat ditangani dengan metode-metode penafsiran selain
tematik. Hal itu dikarenakan kajian metode tematik ditujukan untuk
menyelesaikan permasalahan. Itulah sebabnya metode ini mengkaji semua ayat
Al-Qur‟an yang berbicara tentang kasus
yang sedang dibahas secara tuntas dari berbagai aspeknya.
2. Praktis dan sistematis
Tafsir dengan metode
tematik disusun secara praktis dan sistematis dalam memecahkan permasalahan
yang timbul. Kondisi semacam ini sangat cocok dengan kehidupan umat yang semakin modern dengan mobilitas yang tinggi sehingga
mereka seakan-akan tak punya waktu untuk membaca kitab-kitab tafsir yang besar,
padahal untuk mendapatkan petunjuk Al-Qur‟an mereka harus membacanya. Dengan
adanya tafsir tematik, mereka akan mendapatkan petunjuk Al-Qur‟an secara
praktis dan sistematis serta dapat lebih menghemat waktu, efektif, dan efisien.
3. Dinamis
Metode tematik membuat tafsir Al-Qur‟an selalu dinamis
sesuai dengan tuntutan zaman sehingga menimbulkan di dalam benak pembaca dan
pendengarnya bahwa Al-Qur‟an senantiasa mengayomi dan membimbing kehidupan di
muka bumi ini pada semua lapisan dan strata sosial. Dengan demikian, terasa
sekali bahwa Al-Qur‟an selalu aktual (updated ), tak pernah ketinggalan zaman
(outdated). Dengan tumbuhnya kondisi serupa itu, maka umat akan tertarik
mengamalkan ajaran-ajaran Al-Qur‟an karena Al-Qur‟an mereka rasakan betul-betul
dapat membimbing mereka ke jalan yang benar.
4. Membuat pemahaman menjadi utuh
Dengan ditetapkan judul-judul yang akan dibahas, maka
pemahaman ayat-ayat Al-Qur‟an dapat
diserap secara utuh. Pemahaman serupa itu sulit menemukannya di dalam corak
penafsiran yang lain. Maka dari itu, metode tematik ini dapat diandalkan untuk
pemecahan suatu permasalahan secara lebih baik dan tuntas.[13]
5. Kekurangan metode tafsir maudhu’i antara lain:
1. Memenggal
ayat al-Qur’an: Yang dimaksud memenggal ayat al-Qur’an ialah suatu kasus
yang terdapat di dalam suatu ayat atau lebih mengandung banyak permasalahan
yang berbeda. Misalnya, petunjuk tentang shalat dan zakat. Biasanya kedua
ibadah itu diungkapkan bersama dalam satu ayat. Apabila ingin membahas kajian
tentang zakat misalnya, maka mau tidak mau ayat tentang shalat harus di
tinggalkan ketika menukilkannya dari mushaf agar tidak mengganggu pada waktu
melakukan analisis.
2 . Membatasi pemahaman ayat: Dengan
diterapkannya judul penafsiran, maka pemahaman suatu ayat menjadi terbatas pada
permasalahan yang dibahas tersebut. Akibatnya mufassir terikat oleh judul itu.
Padahal tidak mustahil satu ayat itu dapat ditinjau dari berbagai aspek, karena
dinyatakan Darraz bahwa, ayat al-Qur’an itu bagaikan permata yang setiap
sudutnya memantulkan cahaya. Jadi, dengan diterapkannya judul pembahasan,
berarti yang akan dikaji hanya satu sudut dari permata tersebut. [14]
3. Dalam
menerapkan metode ini bukan hanya memerlukan waktu yang panjang tetapi juga ketekunan, ketelitian,
keahlian serta kemampuan akademis.
Jadi metode Maudhu’i ini pula pada hakekatnya belum mengemukakan seluruh
kandungan ayat Alquran yang ditafsirkannya, maka harus diingat pembahasan yang
diuraikan atau ditemukan hanya menyangkut judul yang ditetapkan oleh
mufassirnya. [15]
6. Kaidah- kaidah dalam tafsir Maudhu’i
Setiap mufassir yang melakukan penafsiran
Al-Quran secara maudhu’i harus memperhatikan kaidah- kaidah berikut ini :
1. Tugas
pokok Miufassir adalah menafsirkan ayat- ayat dengan ayat ( tafsir
bilma’tsur).
2. Tidak menyimpang dari pokok pembahasan.
3.
Memperhatikan sebab turun ayat, karena itu akan menolong menghindari kekeliruan
pemahaman dibanding dengan hanya memperhatikan lafalnya saja.
4.
Penafsiran hendaklah mematuhi langka-langkah seperti yang telah ditetapkan dan
mengikuti kaidah- kaidah lainnya untuk menghindari kekeliruan yang mungkin
terjadi.
5. Tidak
memilih- milih ayat tertentu atau sebaliknya menolah ayat lainnya berdasarkan
keinginan atau untuk kepentingan justifikasi teori atau konsep sendiri.
6. Untuk
menghindari pemikiran (ar- Ra’yu) yang terlalu jauh dalam penafsiran,
al- Quran harus dijadikan rujukan atau mengujinya dengan konsep ilmu yang sudah
mapan ( al-‘ilm Ash-Shahih).[16]
7. Keistimewaan Metode Maudhu’i
Setelah
pemaparan tentang langkah- langkah dan kaidah- kaidah yang harus diperhatikan
dalam pembahasan Metode Maudhu’i, berikut beberapa keistimewaan metode ini
yaitu :
1.
Menghindari problem atau kelemahan metode lain.
2.
Menafsirkan ayat dengan ayat atau dengan hadits Nabi, yang merupakan satu cara
terbaik dalam menafsirkan Al-Quran.
3.
Kesimpulan yang dihasilkan mudah dipahami. Hal ini disebabkan karena ia membawa
pembaca kepada petunjuk Al- Quran tanpa mengemukakan berbagai pembahasan
terperinci dalam satu disiplin ilmu.
Juga dengan metode ini, dapat dibuktikan bahwa persoalan yang disentuh Al- Quran bukan bersifat teoritis semata- mata
dan atau tidak dapat diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Dengan begitu ia
dapat membawa kita kepada pendapat Al-Quran tentang berbagai problem hidup
disertai dengan jawaban-jawabannya. Ia dapat memperjelas kembali fungsi
Al-Quran sebagai Kitab Suci. Dan terakhir dapat membuktikan keistimewaan
Al-Quran.
4. Metode
ini memungkinkan seseorang untuk menolak anggapan adanya ayat- ayat yang
bertentangan dalam Al-Quran. Ia sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa ayat-ayat
Al-Quran sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat. [17]
5. Dapat menumbuhkan kembali rasa bangga umat Islam,
setelah sebagian mereka sempat terpengarauh oleh aturan-aturan produk manusia,
bahkan kini merasa bahwa Al-Qur’an dapat menjawab tantangan hidup yang
senantiasa berubah.
6. Merupakan jalan terpendek dan termudah untuk
memproleh hidayah Al-Qur’an dibanding tafsir tahlili, sebab tafsir tahlili
tidak menghimpun ayat-ayat yang letaknya terpencar-pencar didalam Al-Qur’an
7. Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
sebagaimana diutamakan oleh tafsir maudhu’i adalah cara terbaik yang telah
disepakati.
8. Kemungkinan yang lebih terbuka ntuk
mengetahui satu permasalahan secara lebih sempurna dan mendalam.[18]
8. Tokoh- Tokoh dan Kitab Tafsir Maudhu’i
1. Al- Mar’ah fi Al- Quran ( Wanita dalam
Al-Quran), karya Ustaz Mahmud al- Aqqad
2. Makanah Al- Mar’ah fi Alquran Al-Karim wa Sunah
al-Shahihah karangan Muhammad Biltaji
3. Usuluddin Wa Ushulul iman fi AlQuran, karya
Ayatullah asl- Syeikh Muhammad al- Yazid
4. Ar-Riba Fil Quran , karya Abu al-A’la
al- Maududi
5. Ayat Al-Jihad fil Quran al-Karim Dirasatan Maudhu’iyyatan
watarikhiyyatan wa bayaniyyatan ( Ayat- ayat Jihad dalam al-Quran : Studi
tematik, historis, dan alitis ) yang disusun oleh Dr. Kamil salamah al-Daqs
9 .
Perbedaan metode Maudhu’I dengan Metode Analisi ( Tahlili)
Yang dimaksud dengan metode
analisis adalah “ penjelasan tentang arti dan maksud ayat- ayat Al-Quran dari
sekian banyak seginya yang ditempuh oleh mufassir dengan menjelaskan ayat demi
ayat sesuai urutannya di dalam Mushhaf melalui penafsiran kosakata, penjelasan
sebab nuzul, munasabah, serta kandungan ayat- ayat tersebut sesuai dengan keahlian
dan kecenderungan mufassir itu”.
Metode tersebut jelas berbeda dengan
metode maudhu’I yang ttelah digambarkan langkah- langkahnya di atas. Perbedaan
itu antara lain,
1.
Mufassir maudhu’i dalam penafsirannya tidak terikat dengan susunan ayat dalam Mushaf,
tetapi lebih terikat dengan urutan masa turunnya ayat atau kronologi kejadian,
sedang Mufassir analisis memperhatikan susunan sebagaimana tercantum dalam
mushhaf.
2.
Mufassir maudhu’i tidak membahas segala segi permasalahan yang dikandung oleh
satu ayat,tapi hanya yang berkaitan dengan pokok bahasan atau judul yang
ditetapkannya.[20]
Sementara
para penafsir analisis berusaha untuk berbicara menyangkut segala sesuatu yang
ditemukannya dalam setiap ayat. Dengan demikian mufassir maudhu’i dalam
pembahasannya tidak mencantumkan arti kosakata, sebab nuzul, munasabah ayat
dari sgi sistematika perurutan,kecuali dalam batas- batas yang dibutuhkan oleh
pokok- pokok bahasannya. Mufassir analisi berbuat sebaliknya.
3. Mufassir
maudhu’i berusaha untuk menuntaskan permasalahan- permasalahan yang menjadi
pokok bahasannya.Mufassir analisis biasanya hanya mengemukakan penafisiran
ayat- ayat secara berdiri sendiri, sehingga persoalan yang dibahas menjadi
tidak tuntas, karena ayat yang ditafsirkan seringkali ditemukan kaitannya dalam
ayat lain pada bagian lain surat
tersebut, atau dalam suarat yang lain.
10.
Perbedaan metode maudhu’i dengan metode komparasi
Yang
dimaksud dengan metode komparasi adalah “ membandingkan ayat- ayat al-Quran
yang memiliki kesamaan atau kemiripan redaksi, yang berbicara tentang masalah
atau kasus yang berbeda, dan yang
memiliki redaksi yang berbeda bagi masalah atau kasus yang sama atau yang
diduga sama. Termasuk dalam objek bahasan metode ini adalah membandingkan ayat-
ayat al-Quran dengan hadits-hadits Nabi SAW yang tampaknya bertentangan, serta
membandingkan pendapat- pendapat ulama tafsir menyangkut penafsiran ayat- ayat
al-Quran.
Dalam metode ini khususnya yang
membandingkan antara ayat dengan ayat seperti yang dikemukakan di atas, sang
mufassir biasanya hanya menjelaskan hal- hal yang berkaitan dengan perbedaan
kandungan yang dimaksud oleh masing-
masing ayat atau perbedaan kasus atau masalah itu sendiri, seperti perbedaan
antara :
ولا تقتلوا أولادكم من
إملاق نحن نرزقكم وإياهم
Dalam
surat Al- An’am ayat 151, dan
ولا تقتلوا أولادكم خشية
إملاق نحن نرزقهم وإياكم
Dalam
surat Al-Isra ayat 31, atau perbedaan antara :
قال ما منعك الا تسجد
إذأمرتك قال انا خير منه
Dalam
surat Al-A’raf ayat 12 , dengan
ما منعك أن تسجد لما
خلقت بيديَ
Dalam
surat Shad ayat 75.
Demikian
juga ayat Al-Anfal ayat 10 dengan AliImran ayat 126.
Mufassir yang menempuh metode ini seperti misalnya Al-Khatib
Al-Iskafi dalam kitabnya Durrah Al-Tanzil wa Gurrah Al-Ta’wil, tidak
mengarahkan pandangannya kepada petunjuk- petunjuk yang dikandung oleh
ayat-ayat yang dibandingkannya itu, kecuali dalam rangka penjelasan sebab-
sebab perbedaan redaksional. Sementara dalam metode maudhu’i, seorang mufassir
disamping menghimpun semua ayat yang berkaitan dengan masalah yang dibahas, ia
juga mencari persamaan- persamaan, serta segala petunjuk yang dikandungnya,
selama berkaitan dengan pokok bahasan yang diterapkan.
Di sini kita melihat bahwa
jangkauan bahasan metode komparasi lebih
sempit dari metode maudhu’i. Karena yang pertama hanya terbatas dalam perbedaan
redaksi semata- mata. Membandingkan ayat dengan hadits, yang kelihatannya
bertentangan, dilakukan juga oleh ulama hadits, khususnyadalam bidang yang
dinamakan Mukhtalif al-Hadits. Sikap ulama dalam hal ini berbeda- berbeda. Abu
Hanifah dan penganun mazhabnya menolak sejak dini hadits yang bertentangan atau tidak sejalan dengan
ayat Al-Quran. Sementara itu, Imam Malik dan penganut mazhabnya dapat menrima
hadits yang tidak sejalan dengan ayat, apabila ada qarinah (pendukung bagi
hadits tersebut) berupa pengalaman penduduk Madinah atau ijma’ Ulama. Lainnya
Syafi’I berupaya untuk mengkompromikan ayat dan hadits tersebut, khususnya jika
sanad hadits tersebut shahih.[21]
[1]
Muhammad Yunus, Kamus Arab- Indonesia , (Jakarta: Muhammad Yunus
Wa Dzurriyah, 2009), hlm. 501
[2]
Abd. Al- Hayy al- Farmawi, Bidayah Fit al- Tafsir al- Maudhu’i, ( Kairo
: Hadrat al-Gharbiyah, 1977), hlm 52
[5]
Nashruddin Ba’idan, Metodologi Penafsiran Al- Quran, ( Yogyakarta;
Pustaka pelajar, 2002) hlm 72.
[7]
Abd. Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i Suatu Pengantar Terj :
Suryan A.Jamrah (PT Raja Grafindo Persada: Jakarta, 1994) hal. hal.35
[8]
Syeikh Muhammad Ghazali, Tafsir Tematik dalan
Al-Quran ( Jakarta Selatan : Gaya Media Prtama, 2005) hlm 1-4)
[9]
Abd. Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir … hal. hal.36
[10]
M. Quraish Shihab, wawasan al-Quran , Tafsir Maudhu’I atas berbagai
persoalan umat, (Bandung: Mizan,1996) hlm 15-16
[11]
M. Quraish Shihab, wawasan
al-Quran … hlm 18
[12]
Badri, Sejarah Perkembangan,
... Hlm 104
[13]
Nashiruddin Baidan, Metodologi … hlm. 165-167
[14]
Nashruddin ,Metodologi Penafsiran ... hlm.168
[15]
Http://hadifauzan.blogspot.co.id/2013/04/metode-tafsir-tematik-al-maudhu’i.html
[16]
(Didin Saefuddin Buchori, Pedoman memahami Al-Quran, (Bogor:
Granada Sarana Pustaka, 2005) hlm 225-226)
[17]
( Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Manusia , (Bandung: Mizan Pustaka, 2006) hlm 117
[18]
Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu
Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), hlm 302
[20]
Ayat 90 surat al-maidah misalnya,
yang berbicara tentang minuman keras, perjudian dan berhala- berhala
sesembahan, keseluruhannya menjadi bahasan penafsir “analisis”, tetapi penafsir maudhu’i hanya
membahas pokok bahasannya saja. Jika pokok bahasan yang dipilihnya tentang
minuman keras,maka ia tidak akan menyinggung persoalan judi dan berhala-
berhala.
[21]
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, … Hlm 117-119
Subscribe to:
Posts (Atom)