Translate

Monday, August 15, 2016

Wonderful Sabang (Sabang Island- photos) SUNSET

Sabang.










Makalah Ulumul Quran (Hadits maudhu'i)

1. Definisi Metode Maudhu’i

            Maudhu’i secara bahasa berasal dari bahasa Arab yaitu وضع- يضع- وضعا- موضعا- موضوعا
Yang berarti “menaruh” atau “meletakkan”.[1]  Adapun pengertian tafsir maudhu’i yang dikemukakan oleh Abd al-Hayy al- Farmawi , yaitu :
جمع الآيات القرآنية، ذات الهدف الواحد ـ التي اشتركت في موضوع ما ـ وترتيبها حسب النزول ـ ما أمكن ذلك ـ مع الوقوف على أسباب نزولها، ثم تناولها بالشرح والبيان، والتعليق والإستنباط

“Mengumpulkan ayat- ayat Al-Quran yang mempunyai maksud yang sama, dalam arti sama-sama membahas atau topik masalah dan menyusunnya berdasarkan kronologis dan sebab turunnya ayat-ayat tersebut, selanjutnya mufassir memberikan keterangan dan penjelasan serta mengambil kesimpulan”.[2]

Sedangkan Dr. Mushthafa Muslim tafsir Maudhu’i adalah :
هو علم يبحث في قضايا القرآن الكريم، المتحدة معنى أو غاية، عن طريق جمع آياتها المتفرقة، والنظر فيها، على هيئة مخصوصة، بشروط مخصوصة لبيان معناها، واستخراج عناصرها، وربطها برباط جامع.
Tafsir Maudhu’i adalah ilmu yang membahas tentang masalah- masalah Al-Quran al- Karim yang (memiliki) kesatuan makna atau tujuan dengan cara menghimpun ayat- ayatnya yang bisa juga disebut dengan metode tauhidi kesatuan untuk kemudian melakukan penalaran terhadap isi kandungannya menurut cara- cara tertentu dan berdasarkan syarat- syarat tertentu untuk menjelaskan makna –maknanya dan mengeluarkan unsur-unsurnya serta menghubungkannya antara yang satu dengan yang lain dengan korelasi yang bersifat komprehensif “.[3]
Menurut Badri khaeruman pengertian tafsir maudhu’i sebagai satu metode penafsiran Al-Quran, yang bertujuan mencari jawaban ayat- ayat Al- Quran tentang permasalahan tertentu. Ayat- ayat yang menunjuk pada permasalahan yang sma yang tersebar di dalam surat- surat Al- Quran, dihimpun dan dipahami lewat ilmu- ilmu bantu sesuai dengan konteksnya menuju jawaban ayat- ayat tersebut (dilalah), yang berkenaan dengan masalah yang telah ditetapkan. [4]
Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa metode Maudhu’i adalah cara menjelaskan ayat-ayat yang terhimpun dalam satu tema dengan memperhatikan urutan tertib turunnya ayat tersebut, sebab turunnya, korelasi antara satu ayat dengan ayat yang lain dan hal- hal lain yang dapat membantu memahami ayat lalu menganalisanya secara cermat dan menyeluruh.
Tafsir Maudhu’i ini disebut juga dengan tafsir tematik, maksudnya adalah metode ini membahas ayat-ayat al-Quran sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan dengan topik tersebut dihimpun, kemudia dikaji secara mendalam dan tuntas dari segala aspeknya. Tafsir maudhu’i merupakan sebuah metode penafsiran al- Qur’an yang bertujuan hendak mencari jawaban ayat-ayat al-Quran tentang satu permasalahan tertentu.[5]


2. Sejarah Tafsir Maudhu’i
Dasar-dasar tafsir maudhu’i telah dimulai oleh Nabi SAW sendiri ketika menafsirkan ayat dengan ayat, yang kemudian dikenal dengan nama tafsir bi al-ma’sur.  Seperti yang dikemukakan oleh al Farmawi bahwa semua penafsiran ayat dengan ayat bisa dipandang sebagai tafsir maudhu’i dalam bentuk awal. Menurut Quraish Shihab, tafsir tematik berdasarkan surah digagas pertama kali oleh seorang guru besar jurusan Tafsir, fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar, Syaikh Mahmud Syaltut, pada Januari 1960. Karya ini termuat dalam kitabnya, Tafsir al-Qur’an al-Karim. Sedangkan tafsir maudhu‘i berdasarkan subjek digagas pertama kali oleh Prof. Dr. Ahmad Sayyid al-Kumiy, seorang guru besar di institusi yang sama dengan Syaikh Mahmud Syaltut, jurusan Tafsir, fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar, dan menjadi ketua jurusan Tafsir sampai tahun 1981. Model tafsir ini digagas pada tahun seribu sembilan ratus enam puluhan.[6]
3. Bentuk-Bentuk Kajian Tafsir Maudhu’i
Pada dasarnya menghimpun dan menyusun ayat-ayat menurut kronologi dilakukan untuk mengetahui pokok-pokok masalahnya. Dengan demikian komentar negatif bahwa di dalam al-Quran terdapat pengulangan bisa ditolak atau disanggah. Tafsir Maudhu’i mempunyai dua bentuk kajian yaitu tafsir maudhu’i per-surah dan tafsir maudhu’i per-tema.
a. Tafsir Maudhu’i Per-Surah
Tafsir maudhu’i yang membahas satu surah secara utuh dan menyeluruh dan menjelaskan maksudnya yang bersifat umum dan khusus serta menjelaskan korelasi antara berbagai masalah yang dikandungnya, sehingga surah tersebut tampak dalam bentuknya yang betul-betul utuh dan cermat.  [7]
 Penafsiran tentang satu Surah, contoh surah al –Fatihah
ÉOó¡Î0 «!$# Ç`»uH÷q§9$# ÉOŠÏm§9$# ÇÊÈ
“Dengan menyebut Allah yang Pemurah lagi Maha Penyayang”. Ayat ini sebagai satu ekspresi pujian rasa syukur terhadap Allah.
ßôJysø9$# ¬! Å_Uu šúüÏJn=»yèø9$# ÇËÈ
Segala Puji bagi Allah, Tuhan semesta alam”. Ayat ini mengartikulasi tiga konsep :
1. Pujian dan pemujaan dari keagungan, kemuliaan dan kesempurnaan Tuhan yang Maha Kuasa
2. Pujian terhadap Tuhan, Pencipta dan Pemberi, karena kelembutan, Pemurah, dan kebaikan-Nya ditunjukan-Nya melalui ciptaan-Nya
3. Bersyukur dan berterimakasih kepada Pencipta dan Pemberi, karena semua kemurahan dan kelembutan Ia limpahkan kepada ciptaan-Nya.
“Tuhan semesta alam” adalah suatu penegasan bahwa Tuhan adalah Tuhan dari segalanya, dari yang paling kuasa hingga makhluk yang rendah hati dimanapun mereka berada. Dan dialah Tuhan Manusia, hewan, tumbuhan, planet, yang terlihat maupun yang tak terlihat. Segala sesuat yang telah eksis atau akan selau eksis di dunia ini adalah subordinate bagi Tuhan, tunduk kepada-Nya, terikat pada kekuasaanya, dan secara total bergantungh pada kelembutan-Nya, Rahmat dan Penyayang. Allah SWT berfirman dalam surat yang lain:
¬Tsù ß÷Kptø:$# Éb>u ÏNºuq»yJ¡¡9$# Éb>uur ÇÚöF{$# Å_Uu tûüÏHs>»yèø9$# ÇÌÏÈ ã&s!ur âä!$tƒÎŽö9Å3ø9$# Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur ( uqèdur âƒÍyèø9$# ÞOŠÅ3ptø:$# ÇÌÐÈ
“Maka bagi Allahlah segala puji, Tuhan langit dan Tuhan bumi, Tuhan semesta alam. Dan bagi-Nyalah keagungan di langit dan di bumu. Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana “ ( al-Jatsiyah 36-37)
الرحمن الرحيم (3)
“ Yang Maha pemurah lagi Maha Penyayang” . manusia dan ciptaan lainnyta, hidup dengan kemurahan Allah.
مالك يوم الدين ( 4)
Yang menguasai hari pembalasan”. Ini mengacu kepada hari pembalasan, di mana dikatakan sebagai awal kehidupan baru yang berlawanan dengan kehidupan sementara sekarang ini. Konsep dari “hari pembalasan ”  adalah untuk semua.
إياك نعبد وإياك نستعين (5)
“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan”
Setiap orang dan segala sesuatu adalah dalam keadaan memerlukan Allah dan kemurahan-Nya.  Nabi Muhammad bersabda dalah sebuah hadits yang artinya:
“jika kamu memohon, maka mohonkanlah kepada Allah. Dan Jika kamu meminta pertolongan maka mintalah pertolongan kepada Allah ‘. (HR. Abu Dawud dan al-Nasai)

اهدنا الصراط المستقيم (6) .صراط الذين أنعمت عليهم غير المغضوب عليهم ولا الضالين (7)
“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (Yaitu) jalan orang- orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) yang dimurkai dan (bukan pula) jalan mereka yang sesat”.
Jalan yang lurus adalah jalan yang terdekat antara dua titik. Siapapun berada di jalan yang lurus dan benar menuju Allah, karena itu adalah satu- satunya jalan yang pasti dan langsung yang membawa kepada Allah. Agma Allah adalah satu agama, diajarkan oleh semua Nabi dan utusan pada semua peringkat manusia. Ia jumpai keesaan Allah yang pantas mendapatkan total kesetiaan dan pujian penuh.
Ringkasnya, kita memiliki ekspresi yang benar dan penuh definisi tentang hubungan alamiah dan wajar antara manusia dan Tuhannya. Esensi dari hubungan ini adalah penghargaan manusia terhadap Tuhannya, pujian kepada-Nya yang sesungguhnya dan upaya yang tulus serta berkesinambungan untuk meminta ampun, kasih sayang kepada-Nya. Semuanya ini agar Tuhan bisa membantu manusia untuk hidup seperti yang diharapkannya. [8]
b. Tafsir Maudhu’i Per-Tema
Menghimpun sejumlah ayat dari berbagai surah yang sama-sama membicarakan satu masalah tertentu kemudian ayat-ayat disusun sedemikian rupa dan diletakkan di bawah suatu tema bahasan yang dan selanjutnya ditafsirkan secara maudhu’i. [9]
Fitrah manusia : tentang keyakinan keesaan Allah
Al-Quran mengisyaratkan bahwa kehadiran Tuhan ada dalam diri setiap insan, dan bahwa hal tersebut merupakan fitrah (bawaan) manusia sjak asal kejadiannya.
Demikian dipahami dari firman-Nya dalam surah Ar-Rum 30.
 فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚفِطْرَتَ الَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚلَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ الَّهِ ۚذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”,
Dalam ayat lain dikemukakan bahwa :
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).[10]
Dalam surah lain Allah berfirman : (QSYunus :90-91)
وجَاوَزۡنَا بِبَنِىۡۤ اِسۡرَآءِيۡلَ الۡبَحۡرَ فَاَتۡبـَعَهُمۡ فِرۡعَوۡنُ وَجُنُوۡدُهٗ بَغۡيًا وَّعَدۡوًا ؕ حَتّٰۤى اِذَاۤ اَدۡرَكَهُ الۡغَرَقُ قَالَ اٰمَنۡتُ اَنَّهٗ لَاۤ اِلٰهَ اِلَّا الَّذِىۡۤ اٰمَنَتۡ بِهٖ بَنُوۡۤا اِسۡرَآءِيۡلَ وَ اَنَا مِنَ الۡمُسۡلِمِيۡنَ‏ O
“ Dan kami memungkinkan Bani Israil melintasi laut, lalu mereka diikuti oleh Firaun dan bala tentaranya, karena hendak menganiaya dana menindas (mereka) : hingga bila Firaun itu telah hamper tenggelam berkatalah dia: “saya percaya bahwa tidak ada tuhan melainkan Tuhan ynag dipercaya oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah). Apakah sekarang (baru kamu percaya), padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu, dan kamu  termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan”
            Ayat ini sekaligus membuktikan bahwa kehadiran Tuhan merupakan fitrah manusia yang merupakan kebutuhan hidupnya. Kalaupun ada yang mengingkari wujud tersebut, maka pengingkaran tersebut bersifat sementara. Dalam arti bahwa pada akhirnya – sebelum jiwanya berpisah dengan jasadnya- ia akan mengakui-Nya. Memang,  kebutuhan manusia bertingkat – tingkat, ada yang harus dipenuhi segera seperti kebutuhan udara, ada yang dapat ditangguhkan lebih lama daripada kebutuhan minum. Kebutuhan untuk makan dapat ditangguhkan lebih lama daripada kebutuhan minuman. Kebutuhan yang paling lama dapat ditangguhkan adalah kebutuhan tentang keyakinan akan adanya Allah SWT. [11]
4. Langkah- langkah metode Maudhu’i
Adapun langkah- langkah yang harus diikuti secara berurutan, sebagai berikut :
1. Menetapkan masalah atau judul pembahasan;
2. Menghimpun ayat- ayat yang menyangkut masalah tersebut;
3. Menyusun ayat-ayat itu sesuai dengan masa turunnya, dengan memisahkan periode Mekkah dan Madinah .
4. Memahami korelasi ayat- ayat tersebut dalam suratnya masing- masing ;
5. Melengkapi pembahasan dengan hadits- hadits yang menyangkut pembahasan yang dibahas;
6. Menyusun pembahasan dalam satu kerangka yang sempurna;
7. Studi tentang ayat- yat tersebut secara keseluruhan , dengan memperhatikan pengertian- pengertian yang sama atau berlawanan, mengompromikan ayat ‘am dan khas, mutlak dan muqayyad, ditopang oleh ilmu- ilmu bantu lainnya, sehingga lahirlah suatu konsepsi sesuai dengan dilalah ayat tanpa ada semacam pemaksaan dalam pemberian arti;
8. Menyusun kesimpulan yang mengambarkan jawaban dari Al-Quran terhadap masalah yang dibahas.[12]

5. Kelebihan- kelebihan metode maudhu’i
Di antara kelebihan metode ini ialah sebagai berikut:
1. Menjawab tantangan zaman
Permasalahan dalam kehidupan selalu tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan kehidupan itu sendiri. Semakin modern kehidupan, permasalahan yang timbul semakin kompleks dan rumit, serta mempunyai dampak yang luas. Untuk menghadapi permasalahan yang demikian, dilihat dari sudut tafsir Al-Qur‟an, tidak dapat ditangani dengan metode-metode penafsiran selain tematik. Hal itu dikarenakan kajian metode tematik ditujukan untuk menyelesaikan permasalahan. Itulah sebabnya metode ini mengkaji semua ayat Al-Qur‟an yang  berbicara tentang kasus yang sedang dibahas secara tuntas dari berbagai aspeknya.

2. Praktis dan sistematis
            Tafsir dengan metode tematik disusun secara praktis dan sistematis dalam memecahkan permasalahan yang timbul. Kondisi semacam ini sangat cocok dengan kehidupan umat yang semakin  modern dengan mobilitas yang tinggi sehingga mereka seakan-akan tak punya waktu untuk membaca kitab-kitab tafsir yang besar, padahal untuk mendapatkan petunjuk Al-Qur‟an mereka harus membacanya. Dengan adanya tafsir tematik, mereka akan mendapatkan petunjuk Al-Qur‟an secara praktis dan sistematis serta dapat lebih menghemat waktu, efektif, dan efisien.
3. Dinamis
Metode tematik membuat tafsir Al-Qur‟an selalu dinamis sesuai dengan tuntutan zaman sehingga menimbulkan di dalam benak pembaca dan pendengarnya bahwa Al-Qur‟an senantiasa mengayomi dan membimbing kehidupan di muka bumi ini pada semua lapisan dan strata sosial. Dengan demikian, terasa sekali bahwa Al-Qur‟an selalu aktual (updated ), tak pernah ketinggalan zaman (outdated). Dengan tumbuhnya kondisi serupa itu, maka umat akan tertarik mengamalkan ajaran-ajaran Al-Qur‟an karena Al-Qur‟an mereka rasakan betul-betul dapat membimbing mereka ke jalan yang benar.

4. Membuat pemahaman menjadi utuh
Dengan ditetapkan judul-judul yang akan dibahas, maka pemahaman    ayat-ayat Al-Qur‟an dapat diserap secara utuh. Pemahaman serupa itu sulit menemukannya di dalam corak penafsiran yang lain. Maka dari itu, metode tematik ini dapat diandalkan untuk pemecahan suatu permasalahan secara lebih baik dan tuntas.[13]

5. Kekurangan metode tafsir maudhu’i antara lain:

 1.  Memenggal ayat al-Qur’an: Yang dimaksud memenggal ayat al-Qur’an ialah suatu kasus yang terdapat di dalam suatu ayat atau lebih mengandung banyak permasalahan yang berbeda. Misalnya, petunjuk tentang shalat dan zakat. Biasanya kedua ibadah itu diungkapkan bersama dalam satu ayat. Apabila ingin membahas kajian tentang zakat misalnya, maka mau tidak mau ayat tentang shalat harus di tinggalkan ketika menukilkannya dari mushaf agar tidak mengganggu pada waktu melakukan analisis.
2 . Membatasi pemahaman ayat: Dengan diterapkannya judul penafsiran, maka pemahaman suatu ayat menjadi terbatas pada permasalahan yang dibahas tersebut. Akibatnya mufassir terikat oleh judul itu. Padahal tidak mustahil satu ayat itu dapat ditinjau dari berbagai aspek, karena dinyatakan Darraz bahwa, ayat al-Qur’an itu bagaikan permata yang setiap sudutnya memantulkan cahaya. Jadi, dengan diterapkannya judul pembahasan, berarti yang akan dikaji hanya satu sudut dari permata tersebut. [14]
3.   Dalam menerapkan metode ini bukan hanya memerlukan waktu yang  panjang tetapi juga ketekunan, ketelitian, keahlian serta kemampuan akademis.
      Jadi metode Maudhu’i ini pula pada hakekatnya belum mengemukakan seluruh kandungan ayat Alquran yang ditafsirkannya, maka harus diingat pembahasan yang diuraikan atau ditemukan hanya menyangkut judul yang ditetapkan oleh mufassirnya. [15]

6. Kaidah- kaidah dalam tafsir Maudhu’i
Setiap mufassir yang melakukan penafsiran Al-Quran secara maudhu’i harus    memperhatikan kaidah- kaidah berikut ini :
1. Tugas pokok Miufassir adalah menafsirkan ayat- ayat dengan ayat ( tafsir bilma’tsur).
2. Tidak menyimpang dari pokok pembahasan.
3. Memperhatikan sebab turun ayat, karena itu akan menolong menghindari kekeliruan pemahaman dibanding dengan hanya memperhatikan lafalnya saja.
4. Penafsiran hendaklah mematuhi langka-langkah seperti yang telah ditetapkan dan mengikuti kaidah- kaidah lainnya untuk menghindari kekeliruan yang mungkin terjadi.
5. Tidak memilih- milih ayat tertentu atau sebaliknya menolah ayat lainnya berdasarkan keinginan atau untuk kepentingan justifikasi teori atau konsep sendiri.
6. Untuk menghindari pemikiran (ar- Ra’yu) yang terlalu jauh dalam penafsiran, al- Quran harus dijadikan rujukan atau mengujinya dengan konsep ilmu yang sudah mapan ( al-‘ilm Ash-Shahih).[16]


7. Keistimewaan Metode Maudhu’i
Setelah pemaparan tentang langkah- langkah dan kaidah- kaidah yang harus diperhatikan dalam pembahasan Metode Maudhu’i, berikut beberapa keistimewaan metode ini yaitu :
1. Menghindari problem atau kelemahan metode lain.
2. Menafsirkan ayat dengan ayat atau dengan hadits Nabi, yang merupakan satu cara terbaik dalam menafsirkan Al-Quran.
3. Kesimpulan yang dihasilkan mudah dipahami. Hal ini disebabkan karena ia membawa pembaca kepada petunjuk Al- Quran tanpa mengemukakan berbagai pembahasan terperinci  dalam satu disiplin ilmu. Juga dengan metode ini, dapat dibuktikan bahwa persoalan yang disentuh  Al- Quran bukan bersifat teoritis semata- mata dan atau tidak dapat diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Dengan begitu ia dapat membawa kita kepada pendapat Al-Quran tentang berbagai problem hidup disertai dengan jawaban-jawabannya. Ia dapat memperjelas kembali fungsi Al-Quran sebagai Kitab Suci. Dan terakhir dapat membuktikan keistimewaan Al-Quran.
4. Metode ini memungkinkan seseorang untuk menolak anggapan adanya ayat- ayat yang bertentangan dalam Al-Quran. Ia sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa ayat-ayat Al-Quran sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat. [17]
5.    Dapat menumbuhkan kembali rasa bangga umat Islam, setelah sebagian mereka sempat terpengarauh oleh aturan-aturan produk manusia, bahkan kini merasa bahwa Al-Qur’an dapat menjawab tantangan hidup yang senantiasa berubah.
6.  Merupakan jalan terpendek dan termudah untuk memproleh hidayah Al-Qur’an dibanding tafsir tahlili, sebab tafsir tahlili tidak menghimpun ayat-ayat yang letaknya terpencar-pencar didalam Al-Qur’an 
7.     Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an sebagaimana diutamakan oleh tafsir maudhu’i adalah cara terbaik yang telah disepakati.
8.      Kemungkinan yang lebih terbuka ntuk mengetahui satu permasalahan secara lebih sempurna dan mendalam.[18]

8. Tokoh- Tokoh dan Kitab Tafsir Maudhu’i
1. Al- Mar’ah fi Al- Quran ( Wanita dalam Al-Quran), karya Ustaz Mahmud al- Aqqad
2. Makanah Al- Mar’ah fi Alquran Al-Karim wa Sunah al-Shahihah karangan Muhammad Biltaji
3. Usuluddin Wa Ushulul iman fi AlQuran, karya Ayatullah asl- Syeikh Muhammad al- Yazid
4. Ar-Riba Fil Quran , karya Abu al-A’la al- Maududi
5. Ayat Al-Jihad fil Quran al-Karim Dirasatan Maudhu’iyyatan watarikhiyyatan wa bayaniyyatan ( Ayat- ayat Jihad dalam al-Quran : Studi tematik, historis, dan alitis ) yang disusun oleh Dr. Kamil salamah al-Daqs
6. Nahwu Tafsir Maudhu’i lissuwar al-Quran al-karim. [19]

9 . Perbedaan metode Maudhu’I dengan Metode Analisi ( Tahlili)
            Yang dimaksud dengan metode analisis adalah “ penjelasan tentang arti dan maksud ayat- ayat Al-Quran dari sekian banyak seginya yang ditempuh oleh mufassir dengan menjelaskan ayat demi ayat sesuai urutannya di dalam Mushhaf melalui penafsiran kosakata, penjelasan sebab nuzul, munasabah, serta kandungan ayat- ayat tersebut sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir itu”.
            Metode tersebut jelas berbeda dengan metode maudhu’I yang ttelah digambarkan langkah- langkahnya di atas. Perbedaan itu antara lain,
1. Mufassir maudhu’i dalam penafsirannya tidak terikat dengan susunan ayat dalam Mushaf, tetapi lebih terikat dengan urutan masa turunnya ayat atau kronologi kejadian, sedang Mufassir analisis memperhatikan susunan sebagaimana tercantum dalam mushhaf.
2. Mufassir maudhu’i tidak membahas segala segi permasalahan yang dikandung oleh satu ayat,tapi hanya yang berkaitan dengan pokok bahasan atau judul yang ditetapkannya.[20]
Sementara para penafsir analisis berusaha untuk berbicara menyangkut segala sesuatu yang ditemukannya dalam setiap ayat. Dengan demikian mufassir maudhu’i dalam pembahasannya tidak mencantumkan arti kosakata, sebab nuzul, munasabah ayat dari sgi sistematika perurutan,kecuali dalam batas- batas yang dibutuhkan oleh pokok- pokok bahasannya. Mufassir analisi berbuat sebaliknya.
3. Mufassir maudhu’i berusaha untuk menuntaskan permasalahan- permasalahan yang menjadi pokok bahasannya.Mufassir analisis biasanya hanya mengemukakan penafisiran ayat- ayat secara berdiri sendiri, sehingga persoalan yang dibahas menjadi tidak tuntas, karena ayat yang ditafsirkan seringkali ditemukan kaitannya dalam ayat lain  pada bagian lain surat tersebut, atau dalam suarat yang lain.

10.  Perbedaan metode maudhu’i dengan metode komparasi
            Yang dimaksud dengan metode komparasi adalah “ membandingkan ayat- ayat al-Quran yang memiliki kesamaan atau kemiripan redaksi, yang berbicara tentang masalah atau kasus yang berbeda,  dan yang memiliki redaksi yang berbeda bagi masalah atau kasus yang sama atau yang diduga sama. Termasuk dalam objek bahasan metode ini adalah membandingkan ayat- ayat al-Quran dengan hadits-hadits Nabi SAW yang tampaknya bertentangan, serta membandingkan pendapat- pendapat ulama tafsir menyangkut penafsiran ayat- ayat al-Quran.
            Dalam metode ini khususnya yang membandingkan antara ayat dengan ayat seperti yang dikemukakan di atas, sang mufassir biasanya hanya menjelaskan hal- hal yang berkaitan dengan perbedaan kandungan  yang dimaksud oleh masing- masing ayat atau perbedaan kasus atau masalah itu sendiri, seperti perbedaan antara :

ولا تقتلوا أولادكم من إملاق نحن نرزقكم وإياهم

  Dalam surat Al- An’am ayat 151, dan
ولا تقتلوا أولادكم خشية إملاق نحن نرزقهم وإياكم
Dalam surat Al-Isra ayat 31, atau perbedaan antara :

قال ما منعك الا تسجد إذأمرتك قال انا خير منه
Dalam surat Al-A’raf ayat 12 , dengan
ما منعك أن تسجد لما خلقت بيديَ
Dalam surat  Shad ayat 75.


Demikian juga ayat Al-Anfal ayat 10 dengan AliImran ayat 126.
Mufassir yang menempuh metode ini seperti misalnya Al-Khatib Al-Iskafi dalam kitabnya Durrah Al-Tanzil wa Gurrah Al-Ta’wil, tidak mengarahkan pandangannya kepada petunjuk- petunjuk yang dikandung oleh ayat-ayat yang dibandingkannya itu, kecuali dalam rangka penjelasan sebab- sebab perbedaan redaksional. Sementara dalam metode maudhu’i, seorang mufassir disamping menghimpun semua ayat yang berkaitan dengan masalah yang dibahas, ia juga mencari persamaan- persamaan, serta segala petunjuk yang dikandungnya, selama berkaitan dengan pokok bahasan yang diterapkan.
 
            Di sini kita melihat bahwa jangkauan  bahasan metode komparasi lebih sempit dari metode maudhu’i. Karena yang pertama hanya terbatas dalam perbedaan redaksi semata- mata. Membandingkan ayat dengan hadits, yang kelihatannya bertentangan, dilakukan juga oleh ulama hadits, khususnyadalam bidang yang dinamakan Mukhtalif al-Hadits. Sikap ulama dalam hal ini berbeda- berbeda. Abu Hanifah dan penganun mazhabnya menolak sejak dini hadits  yang bertentangan atau tidak sejalan dengan ayat Al-Quran. Sementara itu, Imam Malik dan penganut mazhabnya dapat menrima hadits yang tidak sejalan dengan ayat, apabila ada qarinah (pendukung bagi hadits tersebut) berupa pengalaman penduduk Madinah atau ijma’ Ulama. Lainnya Syafi’I berupaya untuk mengkompromikan ayat dan hadits tersebut, khususnya jika sanad hadits tersebut shahih.[21]










[1] Muhammad Yunus, Kamus Arab- Indonesia , (Jakarta: Muhammad Yunus Wa Dzurriyah, 2009), hlm. 501
[2] Abd. Al- Hayy al- Farmawi, Bidayah Fit al- Tafsir al- Maudhu’i, ( Kairo : Hadrat al-Gharbiyah, 1977), hlm 52
[3]  Musthafa Muslim , Mabahits fi al- maudhu’i ( Damsyik- Syiria: dar –al Qalam, 1989),  hlm 16
[4]  Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir Al- Quran,(Bandung : Pustaka Setia, 2004) hlm 103)
[5] Nashruddin Ba’idan, Metodologi Penafsiran Al- Quran, ( Yogyakarta; Pustaka pelajar, 2002) hlm 72.
[6]  M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, cet. Ke xix (Bandung: Mizan, 1999), hlm.114..
[7] Abd. Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i Suatu Pengantar Terj : Suryan A.Jamrah (PT Raja Grafindo Persada: Jakarta, 1994) hal. hal.35
[8] Syeikh Muhammad Ghazali, Tafsir Tematik dalan Al-Quran ( Jakarta Selatan : Gaya Media Prtama, 2005) hlm 1-4)
[9] Abd. Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir … hal. hal.36
[10] M. Quraish Shihab, wawasan al-Quran , Tafsir Maudhu’I atas berbagai persoalan umat, (Bandung: Mizan,1996) hlm 15-16
[11] M. Quraish Shihab, wawasan  al-Quran … hlm 18
[12]  Badri, Sejarah Perkembangan, ... Hlm 104
[13] Nashiruddin Baidan, Metodologi … hlm. 165-167
[14] Nashruddin ,Metodologi Penafsiran ... hlm.168
[15]  Http://hadifauzan.blogspot.co.id/2013/04/metode-tafsir-tematik-al-maudhu’i.html
[16] (Didin Saefuddin Buchori, Pedoman memahami Al-Quran, (Bogor: Granada Sarana Pustaka, 2005) hlm 225-226)
[17] ( Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Manusia , (Bandung: Mizan Pustaka, 2006) hlm 117
[18]  Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), hlm 302
[19]  Muhammad Amin Suma , Ulumul Quran, ( Jakarta: Rajawali Pers, 2013) hlm 393-394
[20]  Ayat 90 surat al-maidah misalnya, yang berbicara tentang minuman keras, perjudian dan berhala- berhala sesembahan, keseluruhannya menjadi bahasan penafsir  “analisis”, tetapi penafsir maudhu’i hanya membahas pokok bahasannya saja. Jika pokok bahasan yang dipilihnya tentang minuman keras,maka ia tidak akan menyinggung persoalan judi dan berhala- berhala.
[21] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, … Hlm 117-119